Sabtu, 11 Januari 2014

One Weekend in Lombok part 2 (end): Study in Pink

Katanya tidak hanya di Flores saja yang ada pantai pink-nya. Di Lombok pun ada, tepatnya di Desa Sekaroh, Jerowawu, Lombok Timur. Karena penasaran ingin membuktikannya, keesokan paginya setelah cek out dari hotel, kami pun memacu kendaraan kami menuju kesana. Dengan bantuan GPS dan bertanya kepada penduduk setempat, akhirnya kami pun sampai di Pantai Pink. Untuk menuju ke pantai ini diperlukan perjuangan ekstra karena jaraknya yang cukup jauh dari kota Mataram dan jalan akses menuju pantai ini pun sangat buruk.

Jalan menuju Pantai Pink

Tapi perjuangan itu pun terbayar sudah. Hamparan pasir coklat kemerahan dengan bukit di kedua sisinya serta gili dikejauhan dan kapal-kapal nelayan yang sedang berlayar seketika menghilangkan kepenatan. Kalau menurut saya, pasir pantai ini tidak berwarna pink, tetapi putih kecoklatan dengan tambahan butir pasir merah yang agak jarang. Sehingga dari jauh terlihat seperti citra warna pink. Hanya pendapat saya saja sih.

Pasir Pantai Pink

Pemandangan Pantai Pink

Kapal nelayan sedang berlabuh

Suasana pantai yang sepi dan tenang membuat saya ingin santai berlama-lama di pantai tersebut. Terlintas juga keinginan untuk nyebur bermain air atau menumpang kapal nelayan menyeberang ke salah satu gili. Tetapi karena sorenya kami harus kembali ke Jakarta dan hari ini masih ada beberapa destinasi lagi yang akan kami kunjungi, maka kami pun segera beranjak ketika matahari hampir mencapai puncaknya. Tujuan kami selanjutnya yaitu Pantai Kuta yang terletak di Lombok Tengah. Jaraknya sekitar satu setengah jam dari Pantai Pink. Seperti Pantai Kuta yang berada di Bali, pantai ini juga memiliki pasir yang putih dan dipenuhi dengan bule. Yang membuat pantai ini lebih menarik, pantai ini memiliki beberapa bukit di sisinya yang menambah elok pemandangan. Butiran pasirnya pun memiliki diameter yang lebih besar dari pasir biasa. Seperti merica atau ketumbar kalau menurut saya.

Pantai Kuta

Butiran pasir sebesar merica

Setelah berpanas-panas ria di Kuta, kami pun melanjutkan perjalanan menuju destinasi selanjutnya. Kalau sebelum-sebelumnya dipenuhi dengan wisata pantai, kali ini kami mencoba untuk lebih mengenal budaya lokal. Kami menuju Desa Sade yang merupakan salah satu desa adat Suku Sasak yang tertua dan masih asli. Saat turun dari mobil, kami langsung dijemput oleh warga setempat yang menjadi guide kami mengelilingi  Desa Sade. Rumah adat suku Sasak di Desa Sade memiliki atap yang terbuat dari rumput dan dinding dari anyaman bambu. Yang membuat rumah adat ini unik yaitu salah satu campuran lantainya adalah kotoran sapi. Rata-rata masyarakat desa Sade memeluk agama Islam tetapi kebanyakan masih bercampur dengan Hindu. Sehingga mereka melaksanakan ibadah Sholat bukan lima waktu, tetapi tiga waktu layaknya umat Hindu.

Signpost Desa Sade

Rumah-rumah di Desa Sade

Interior rumah adat

Rata-rata wanita di Desa Sade merupakan penenun kain songket khas suku Sasak. Tetapi sayangnya pada saat saya kesana sedang musim tani dimana wanita-wanita pun ikut membantu para pria di sawah, sehingga tidak ada yang sedang menenun pada saat itu. Tanpa terasa, hari pun sudah sore. Kami pun segera menuju Bandara Internasional Lombok untuk mengembalikan mobil sewaan dan mengejar pesawat ke Jakarta.

1 komentar:

  1. Nggak sopaaaann ni anak wkwkwk... dr td ceritanya bikin gue ngeces. Kapan gue bs ke pantai pasir pink itu hiks

    BalasHapus